Inilah Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Seorang Anak: Awas Jangan Ditiru!

Setiap orangtua memegang tanggung jawab yang sangat besar dalam pembentukan karakter anak di masa depan. Tentu orangtua manapun mengharapkan hasil yang baik dari pola asuh yang diterapkan dalam mendidik anak. Sayangnya, terkadang hasil yang diperoleh tidak sesuai bayangan.


Merasa sudah melakukan yang terbaik, terkadang orangtua lupa bahwa sikap buruk anak adalah cermin dari pola asuh yang diterima anak. Dalam proses mendidik dan membesarkan anak, tak sedikit orangtua yang tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang sama berulang kali yang membuat anak menunjukkan perilaku yang tidak diharapkan.

Beda orangtua, tak selalu sama pola asuhnya. Tapi secara umum, berikut adalah beberapa kesalahan umum yang dilakukan para orangtua dalam mendidik anak yang sebaiknya dihindari:

1. Menakut-nakuti secara berlebihan 

Tak sedikit orangtua yang menakuti-nakuti supaya anak tidak rewel. Seperti “awas ada hantu” atau “awas nanti digigit binatang.” Atau orangtua memasang wajah seram ketika anak tidak patuh. Menakut-nakuti anak justru bisa berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak.

Anak mungkin berhenti menangis saat ditakut-takuti, tapi hal itu bisa menumbuhkan rasa takut berkelanjutan dalam diri anak terhadap sesuatu yang sebetulnya tidak perlu ditakuti. Anak usia balita mudah takut. Bila sering ditakuti-takuti supaya menurut pada perintah dan tidak rewel, anak bisa merasakan ketidakamanan dan kecemasan dalam dirinya yang mungkin berkembang menjadi phobia.

2. Memberi label pada anak 

Seringkali kita menemukan orangtua yang melabeli anaknya dengan sebutan gemuk, tembam, hitam, dan sebagainya yang mengarah ke bentuk fisik. Meski label tersebut bermakna positif sebagai panggilan sayang, namun berpotensi menciptakan citra diri yang negatif pada diri anak.

Ketika diberi label secara berkelanjutan, anak akan merasa tidak nyaman. Pada anak usia pra-sekolah, mungkin mereka menjadi lebih rewel, menggigit kuku, mengompol, dan menolak mengerjakan sesuatu. Perilaku tersebut bisa saja sebagai bentuk protes anak.

3. Iming-iming gadget 

Kesalahan ini banyak dilakukan oleh para orangtua di era digital seperti sekarang ini. Saat suami bekerja, istri tentu akan sangat kerepotan ketika harus menjaga anak yang masih balita terutama jika tidak ada yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah.

Supaya anteng, anak pun dibiarkan untuk menonton TV atau main smartphone milik orangtuanya.  Karena sudah menjadi kebiasaan, terkadang anak pun tidak mau makan atau mengerjakan sesuatu kalau tidak sambil nonton TV atau main smartphone.

4. Membandingkan anak dengan orang lain 

Sering membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain? Ya, faktanya masih banyak orangtua yang “menyombongkan” hingga membandingkan berbagai aspek dalam diri seorang anak dengan anak lainnya. Mulai dari pertumbuhan fisik, kecerdasan, hingga kepatuhan.

Alih-alih memotivasi, sikap membanding-banding seperti itu justru bisa berdampak negatif bagi perkembangan psikis anak. Ketika terus-menerus dibandingkan dengan orang lain, anak akan mulai merasa terbebani. Karena tidak mau kalah saing, bahkan terkadang orangtua sampai memasukkan anak ke sekolah padahal usianya terlalu dini.

Sikap orangtua yang secara langsung atau tidak langsung menekan anak untuk memiliki kemampuan yang lebih baik, dapat memicu stres pada anak yang ditandai dengan sering gelisah, sulit tidur, hingga menarik diri dari interaksi sosial.

5. Bertengkar di depan anak 

Tidak ada pasangan suami istri yang tidak pernah bertengkar. Dan tak sedikit orangtua yang menunjukkan pertengkaran tersebut di depan anak-anak mereka karena emosi yang tertahankan. Padahal pertengkaran orangtua bisa sangat mengancam stabilitas emosional anak.

Menurut berbagai penelitian, anak yang sering menyaksikan pertengkaran orangtua di rumah cenderung mengalami kesulitan lebih besar dalam menghadapi situasi sosial serta mudah marah, cemas, stres, dan depresi.

6. Memarahi anak secara berlebihan ketika ada masalah 

Menegur anak saat berbuat salah memang wajar. Namun, jangan berlebihan dengan memarahi anak sambil berteriak-teriak apalagi main fisik. Bahkan satu kali bentakan saja sudah dapat merusak banyak sel dalam otak anak. Selain itu, memarahi anak secara berlebihan juga membuat anak cenderung menutup diri. Akibatnya, anak lebih suka menyimpan rahasia dan sering berbohong karena takut dimarahi.

Saat anak melakukan kesalahan, ajaklah untuk berdiskusi bukannya diceramahi. Layaknya orang dewasa, anak-anak tidak suka sering dinasehati ataupun terlalut diatur. Mengajaknya berdiskusi dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri anak sehingga lebih berani mengungkapkan pendapat.

7. Takut kotor 

Tak sedikit orangtua yang melarang anak untuk bermain dengan tanah karena alasan kotor. Tapi sebetulnya sikap seperti itu tidak baik pula bagi tumbuh kembang anak. Di masa tumbuh kembang, anak perlu dibiarkan berkesplorasi. Ketimbang mencekoki anak dengan aneka game di gadget, para pakar parenting lebih menyarankan untuk membiarkan anak berinteraksi dengan alam sekitarnya.

Justru membiarkan anak sesekali bermain dengan tanah dan lumpur baik untuk membangun sistem kekebalan tubuhnya yang masih dalam tahap perkembangan. Interaksi dengan alam juga menciptakan kenangan indah dalam memori anak guna membangun kesadaran pentingnya menjaga lingkungan sejak dini. Pasalnya, banyak anak yang kurang peduli lingkungan karena mereka jarang dibiasakan untuk melakukan interaksi dengan alam.

Postingan Populer